Sunday, January 31, 2016

Seniman Patung Modern

Dalam perkembangan seni rupa modern, abstrakisme yang menjadi salah satu alur perkembangannya yang utama, bermula pada patung-patung Pablo Picasso yang mengadaptasi bentuk-bentuk patung primitif Afrika. Dalam seni rupa modern Indonesia, para pematung tidak hanya sekedar mengekspresikan manifestasi alam yang indah seperti apa adanya kedalam karya, akan tetapi juga mengekspresikannya dari hasil simplifikasi alam dengan hanya menangkap hakikat dari obyek, sehingga memunculkan karya-karya dalam wujud abstrak, yang diungkapkan lewat ‘tanda-tanda’ visualnya. Seorang seniman biasanya merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek karyanya. Cara menghayati karya-karya abstrak adalah melalui pemahaman terhadap tanda-tanda visual yang ada dalam karya tersebut dimana tanda yang digunakan mencakup suatu representasi dan interpretasi, suatu denotatum dan suatu interprant. Penafsiran terhadap tanda-tanda visual tersebut sesuai dengan ground pribadi masing-masing pengamat, dengan kata lain, karya seni modern ‘terbuka’ bagi interpretasi.
Para seniman yang membuat karya patung modern bukan digunakan sebagai seni pakai tetapi lebih cenderung kepada seni murni dengan berbagai tehnik, corak maupun tema. Beberapa contoh diantaranya yaitu:

Rita Widagdo
Rita widagdo adalah seorang seniman yang tetap konsisten bertahan pada jalur abstrak, atau tepatnya lagi ‘abstrak murni’. Sejak awal sampai sekarang boleh dikatakan karya-karya Rita Widagdo tidak pernah sedikitpun menampilkan bentuk yang umum dikenal seperti bentuk-bentuk yang ada di alam. Ia mengolah elemen-elemen rupa tri-matra seperti; garis, bidang, ruang, dan memperlakukan unsur-unsur rupa tersebut sebagaimana adanya – tidak mewakili konsep atau pengertian tertentu. Semua karyanya digarap dengan sangat ‘perfect’ dan tampil ‘elegant’. Ia berkarya dengan memilih bentuk persegi empat, bulatan, atau silinder, maupun bentuk geometrik lainnya yang tidak merujuk pada tiruan bentuk alam. Apa yang ditampilkan / visualisasikan Rita adalah ‘nilai-nilai’ yang seakan-akan adalah sesuatu yang dianggap dapat mengikat suatu komuniti tertentu. melalui ungkapan yang bermakna objektif.
Karya-karya pada masa awal sekitar tahun 1970 seperti; “Line and Form” (1970), “The Open Self” (1972), “Roundness” (1978), menampakkan kecenderungan pada permainan bidang dengan susunan bidang setara. Pada masa itu ia sudah menghasilkan karya relief dengan menggarap kemungkinan bidang yang ‘seolah datar’ namun muncul dalam dimensi dan ruang yang nyata – bukan lagi ilusi seperti karya dwi-matra. Dalam hal pewarnaan, Rita selalu memilih warna yang cenderung senada yang bersifat qualisign, dan itu tampak mencolok pada “From Two Dimensional to Three Dimensional” yang dibuat dengan bahan baja tahan karat.

      G. Sidharta
G.Sidharta adalah pematung modern yang dikenal memberontak pada paham modern dengan mewarnai karya-karya patungnya (yang dianggap tidak setia terhadap watak bahan). Sejumlah karyanya juga mengandung cerita yang dihindari oleh umumnya para seniman modern. Kehadiran ornamen (pola-pola etnik) dan sapuan warna dalam karya patungnya ternyata tidak saja memperkaya perkembangan, tetapi juga melahirkan friksi-friksi tajam dalam wacana seni rupa. Karya-karya Sidharta menyiratkan ‘nafas tradisi’ yang sangat kuat. Perjumpaan Sidharta dengan modernisme – menimba ilmu di ASRI Yogyakarta dan Jan van Eyck Akademie voor Beeldende Kunsten Maastricht, Nederland – tak menepis seni tradisi dalam karyanya.
Sebagian besar karya Sidharta diungkapkan dengan menggunakan sistim penandaan yang bersifat qualisign dan sebagian lagi dengan memanfaatkan sistem penandaan ikonogafi. Dalam karyanya yang berjudul “Tumbuh Lima Duabelas Berkembang” (1986) Sidharta tidak lagi terikat pada media dan rumus-rumus seni yang konvensional. Ia berusaha mengungkapkan irama dalam ruang dengan gerak tegak secara legisign berbentuk tiang dan mengaitkan diri dengan jalur kehidupan tradisi, selain tetap berdiri di alam kehidupan masa kini. Tanda-tanda visual yang hadir dalam karya tersebut bersifat qualisign.
Disamping Sidharta memanfaatkan tanda-tanda visual secara qualisign, ia juga banyak menghadirkan sifat ikonografi atau bahkan gabungan dari kedua sifat tersebut dalam karya patungnya. Misalnya patung yang bejudul “Keseimbangan dan Orientasi” (1996) dan “Dewi Kebahagiaan III” (1999). Dalam pengolahan bentuk patung ini bersifat ikonografi, walau tidak lagi hadir dalam wujud realis. Namun dalam memanfaatkan warna tidak lagi ikonografi akan tetapi lebih bersifat qualisign.

Arby Samah
Cara cipta baru dalam seni patung di Yogyakarta dari paham teori imitasi ke teori formalis dirintis oleh Arby Samah, Edhi Sunarso dan Budiyani, disamping tentu saja mendapatkan pengaruh tidak langsung dari buku Barat. Arby Samah dilahirkan 1 April 1933 di Pandai Sikek, Sumatera Barat. Ide, tema serta pengolahan bahan berkarya, diekspresikan dalam wujud-wujud simbolik. Arby selalu mengambil ide-ide berkarya dari berbagai peristiwa yang mampu menggugah hati dan pikiran yang ia temui disekelilingnya. Ia meng-interpretasi-kan suasana mental dari apa yang ia lihat secara kasat mata kedalam wujud karya yang tidak lagi bersifat realis, namun mengolah bentuk dengan cara mereduksi sejumlah elemen realis menjadi bentuk dan gerak yang lebih sederhana.
Semua karya patung Arby diwujudkan dalam bentuk abstrak figuratif dan ikonografi dari referent yang dipilih. Bentuk-bentuk yang hadir diolah dari gerak atau sifat dasar dari bentuk figur yang ingin diungkapkan. Sebagai contoh karya yang berjudul “Sujud” (1965), ide tersebut sudah ada sebelum karya diciptakan. Tanda visual yang hadir memvisualisasikan ide, maksud dan juga pesan yang diinginkan Arby dan olahan bentuk dibuat secara simbolik dengan arah horizontal namun secara ikonografis masih dapat ditangkap bentuk gerakan seseorang yang sedang melakukan gerakan bersujud.
Ciri khas dari karya Arby berbentuk pipih dan dari bahan kayu. Jika patung secara logika harus bisa dinikmati dari segala arah pandang, namun semua karya patung Arby cenderung hanya bisa dinikmati dari dua arah saja yaitu muka-belakang. Namun hal itu bukan berarti karya Arby ‘tidak bagus’ karena pada dasarnya dalam seni modern yang diutamakan adalah masalah inovasi dan kebaruan. Dalam hal ini Arby telah melakukan hal tersebut karena dengan cara mengolah bentuk yang demikian justru belum ada atau bahkan mungkin tidak pernah dilakukan oleh pematung lain.

Nyoman Nuarta
Seperti kebanyakan seniman Bali, Nyoman Nuarta adalah seorang seniman kontemporer yang tidak pernah melepaskan bingkai kesenian dalam tradisi Bali. Meskipun ia seniman yang mendapat pendidikan Barat, persepsinya tentang seni rupa sangat diwarnai prinsip-prinsip kesenian Bali. Karya-karya Nuarta adalah karya-karya kontemporer, namun idiom dan makna karyanya tidak bisa dipahami tanpa mengkaji perkembangan seni rupa Bali.

No comments:

Post a Comment