Sebagai salah satu
cabang seni rupa seni patung telah hadir jauh sebelum manusia
mengenal peradaban modern seperti sekarang. Pada zaman itu patung
dihadirkan sebagai alat ritual dan dianggap sebagai benda keramat
serta disucikan. Sesungguhnya kehidupan seni patung yang sudah
berlangsung sejak jaman prasejarah telah memasuki era baru dalam
perkembangannya di Indonesia dan merupakan bagian dari kehidupan seni
rupa yang terutama mempergunakan media ruang, bentuk, garis dan
warna. Awal dari pertumbuhan seni patung di Indonesia diilhami oleh
semangat nasionalisme. Tradisi pembuatan patung kepahlawanan di
Yogyakarta berlanjut di Jakarta. Identitas patung kepahlawanan dengan
gaya realis masih terus diterapkan pada patung-patung monumen yang
ditempatkan dibeberapa sudut yang strategis di wilayah kota Jakarta.
Dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pecinta seni dan pembina seni
sangat berperan dalam menentukan tema dan gaya ekspresi patung.
Para pematung
berusaha memberikan interpretasi bentuk dalam batas-batas pesan yang
telah dirumuskan dalam bahasa bentuk patung yang mampu membakar
semangat perjuangan. Dalam kondisi proses cipta semacam ini karya
pematung memang tampak kehilangan kemandiriannya dan kehilangan
kebebasan sebagai ciptaan pribadi.
Pada paruh pertama
70-an sejumlah mahasiswa seni patung di perguruan seni rupa mulai
mencoba menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Para mahasiswa itu
menampilkan macam ragam eksperimen, melintas batas bunyi, bau, dan
bahkan menempatkan tubuh sendiri sebagai medium. Eksperimen tersebut
kerap didefinisikan “merespons” ruang. Bergesernya patung-patung
tunggal ke instalasi, merupakan penjelajahan ruang tak terbatas dalam
dunia seni patung itu sendiri.
Instalasi patung
untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Jim Supangkat seorang
mahasiswa studio seni patung ITB. Pada 1975 ia mengajukan Tugas Akhir
berjudul “Kamar Seorang Ibu dan Anaknya”. Karya itu sama sekali
melepaskan diri dari sensibilitas sebuah karya patung. Sensasi rupa
yang hangat pada patung seperti; bentuk, barik, plastisitas, bergeser
ke narasi yang terasa dingin. Muatan cerita tiba-tiba mengambil peran
yang jauh lebih besar dari pada penjelajahan bentuk. Kepercayaan pada
universitas ditinggalkan, dan ia beralih pada konteks tertentu.
Inilah instalasi (patung) pertama walau pun istilah instalasi belum
dikenal dimasa itu, diloloskan maju ke sidang akademi. Jim Supangkat
lulus sangat memuaskan dengan karya tersebut.Pembaharuan dalam bidang
seni patung ini terus berlanjut pada periode berikutnya yang diikuti
oleh aksi-aksi dari sejumlah pematung-pematung muda lainnya
(mahasiswa studio seni patung), baik di Bandung atau pun di
Yogyakarta.
Masuk pada abad 21,
nampak berbagai masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
berbagai segi kehidupan yang berkaitan dengan moralitas. Maka
munculah beberapa kelompok pematung muda mencoba menawarkan berbagai
wacana dalam berbagai bentuk performance art, instalasi art dan
collaboration art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mencoba
mengangkat berbagai wacana politik, sosial, ekonomi, moralitas dalam
fenomena yang ia racik dalam multi media dan multi-idea. Mereka tidak
lagi membatasi disiplin seni atau cabang seni yang terkotak-kotak
oleh modernisme yang lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai
estetik. Namun mereka berangkat dari keragaman tafsir dari realitas
yang mereka rasakan bersama, sehingga karya-karya mereka bernuansa
kehidupan sosial yang mengarah pada universalilasi gagasan, karena
mereka nampaknya ingin melepaskan diri dari kungkungan individu yang
terhimpit oleh ruang dan waktu.
No comments:
Post a Comment