Dalam perkembangan
seni rupa modern, abstrakisme yang menjadi salah satu alur
perkembangannya yang utama, bermula pada patung-patung Pablo Picasso
yang mengadaptasi bentuk-bentuk patung primitif Afrika. Dalam seni
rupa modern Indonesia, para pematung tidak hanya sekedar
mengekspresikan manifestasi alam yang indah seperti apa adanya
kedalam karya, akan tetapi juga mengekspresikannya dari hasil
simplifikasi alam dengan hanya menangkap hakikat dari obyek, sehingga
memunculkan karya-karya dalam wujud abstrak, yang diungkapkan lewat
‘tanda-tanda’
visualnya. Seorang seniman biasanya merasa sulit untuk melepaskan
diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu
seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari
ikatan tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek
karyanya. Cara menghayati karya-karya abstrak adalah melalui
pemahaman terhadap tanda-tanda visual yang ada dalam karya tersebut
dimana tanda yang digunakan mencakup suatu representasi dan
interpretasi, suatu denotatum dan suatu interprant. Penafsiran
terhadap tanda-tanda visual tersebut sesuai dengan ground
pribadi
masing-masing pengamat, dengan kata lain, karya seni modern ‘terbuka’
bagi interpretasi.
Para seniman yang
membuat karya patung modern bukan digunakan sebagai seni pakai tetapi
lebih cenderung kepada seni murni dengan berbagai tehnik, corak
maupun tema. Beberapa contoh diantaranya yaitu:
Rita
Widagdo
Rita widagdo adalah
seorang seniman yang tetap konsisten bertahan pada jalur abstrak,
atau tepatnya lagi ‘abstrak murni’. Sejak awal sampai sekarang
boleh dikatakan karya-karya Rita Widagdo tidak pernah sedikitpun
menampilkan bentuk yang umum dikenal seperti bentuk-bentuk yang ada
di alam. Ia mengolah elemen-elemen rupa tri-matra seperti; garis,
bidang, ruang, dan memperlakukan unsur-unsur rupa tersebut
sebagaimana adanya – tidak mewakili konsep atau pengertian
tertentu. Semua karyanya digarap dengan sangat ‘perfect’ dan
tampil ‘elegant’. Ia berkarya dengan memilih bentuk persegi
empat, bulatan, atau silinder, maupun bentuk geometrik lainnya yang
tidak merujuk pada tiruan bentuk alam. Apa yang ditampilkan /
visualisasikan Rita adalah ‘nilai-nilai’ yang seakan-akan adalah
sesuatu yang dianggap dapat mengikat suatu komuniti tertentu. melalui
ungkapan yang bermakna objektif.
Karya-karya pada
masa awal sekitar tahun 1970 seperti;
“Line and Form” (1970),
“The
Open Self” (1972),
“Roundness”
(1978),
menampakkan kecenderungan pada permainan bidang dengan susunan bidang
setara. Pada masa itu ia sudah menghasilkan karya relief dengan
menggarap kemungkinan bidang yang ‘seolah datar’ namun muncul
dalam dimensi dan ruang yang nyata – bukan lagi ilusi seperti karya
dwi-matra. Dalam hal pewarnaan, Rita selalu memilih warna yang
cenderung senada yang bersifat qualisign, dan itu tampak mencolok
pada “From
Two Dimensional to Three Dimensional” yang
dibuat dengan bahan baja tahan karat.
G. Sidharta
G.Sidharta adalah
pematung modern yang dikenal memberontak pada paham modern dengan
mewarnai karya-karya patungnya (yang dianggap tidak setia terhadap
watak bahan). Sejumlah karyanya juga mengandung cerita yang dihindari
oleh umumnya para seniman modern. Kehadiran ornamen (pola-pola etnik)
dan sapuan warna dalam karya patungnya ternyata tidak saja memperkaya
perkembangan, tetapi juga melahirkan friksi-friksi tajam dalam wacana
seni rupa. Karya-karya Sidharta menyiratkan ‘nafas tradisi’ yang
sangat kuat. Perjumpaan Sidharta dengan modernisme – menimba ilmu
di ASRI Yogyakarta dan Jan
van Eyck Akademie voor Beeldende Kunsten Maastricht, Nederland –
tak
menepis seni tradisi dalam karyanya.
Sebagian
besar karya Sidharta diungkapkan dengan menggunakan sistim penandaan
yang bersifat qualisign dan sebagian lagi dengan memanfaatkan sistem
penandaan ikonogafi. Dalam karyanya yang berjudul “Tumbuh
Lima Duabelas Berkembang” (1986)
Sidharta tidak lagi terikat pada media dan rumus-rumus seni yang
konvensional. Ia berusaha mengungkapkan irama dalam ruang dengan
gerak tegak secara legisign berbentuk tiang dan mengaitkan diri
dengan jalur kehidupan tradisi, selain tetap berdiri di alam
kehidupan masa kini. Tanda-tanda visual yang hadir dalam karya
tersebut bersifat qualisign.
Disamping
Sidharta memanfaatkan tanda-tanda visual secara qualisign, ia juga
banyak menghadirkan sifat ikonografi atau bahkan gabungan dari kedua
sifat tersebut dalam karya patungnya. Misalnya patung yang bejudul
“Keseimbangan
dan Orientasi” (1996)
dan “Dewi
Kebahagiaan III” (1999).
Dalam pengolahan bentuk patung ini bersifat ikonografi, walau tidak
lagi hadir dalam wujud realis. Namun dalam memanfaatkan warna tidak
lagi ikonografi akan tetapi lebih bersifat qualisign.
Arby Samah
Cara
cipta baru dalam seni patung di Yogyakarta dari paham teori imitasi
ke teori formalis dirintis oleh Arby Samah, Edhi Sunarso dan
Budiyani, disamping tentu saja mendapatkan pengaruh tidak langsung
dari buku Barat. Arby Samah dilahirkan 1 April 1933 di Pandai Sikek,
Sumatera Barat. Ide, tema serta pengolahan bahan berkarya,
diekspresikan dalam wujud-wujud simbolik. Arby selalu mengambil
ide-ide berkarya dari berbagai peristiwa yang mampu menggugah hati
dan pikiran yang ia temui disekelilingnya. Ia meng-interpretasi-kan
suasana mental dari apa yang ia lihat secara kasat mata kedalam wujud
karya yang tidak lagi bersifat realis, namun mengolah bentuk dengan
cara mereduksi sejumlah elemen realis menjadi bentuk dan gerak yang
lebih sederhana.
Semua
karya patung Arby diwujudkan dalam bentuk abstrak figuratif dan
ikonografi dari referent yang dipilih. Bentuk-bentuk yang hadir
diolah dari gerak atau sifat dasar dari bentuk figur yang ingin
diungkapkan. Sebagai contoh karya yang berjudul “Sujud”
(1965),
ide tersebut sudah ada sebelum karya diciptakan. Tanda visual yang
hadir memvisualisasikan ide, maksud dan juga pesan yang diinginkan
Arby dan olahan bentuk dibuat secara simbolik dengan arah horizontal
namun secara ikonografis masih dapat ditangkap bentuk gerakan
seseorang yang sedang melakukan gerakan bersujud.
Ciri
khas dari karya Arby berbentuk pipih dan dari bahan kayu. Jika patung
secara logika harus bisa dinikmati dari segala arah pandang, namun
semua karya patung Arby cenderung hanya bisa dinikmati dari dua arah
saja yaitu muka-belakang. Namun hal itu bukan berarti karya Arby
‘tidak bagus’ karena pada dasarnya dalam seni modern yang
diutamakan adalah masalah inovasi
dan
kebaruan.
Dalam
hal ini Arby telah melakukan hal tersebut karena dengan cara mengolah
bentuk yang demikian justru belum ada atau bahkan mungkin tidak
pernah dilakukan oleh pematung lain.
Nyoman Nuarta
Seperti
kebanyakan seniman Bali, Nyoman Nuarta adalah seorang seniman
kontemporer yang tidak pernah melepaskan bingkai kesenian dalam
tradisi Bali. Meskipun ia seniman yang mendapat pendidikan Barat,
persepsinya tentang seni rupa sangat diwarnai prinsip-prinsip
kesenian Bali. Karya-karya Nuarta adalah karya-karya kontemporer,
namun idiom dan makna karyanya tidak bisa dipahami tanpa mengkaji
perkembangan seni rupa Bali.
No comments:
Post a Comment